Senin, 17 November 2014

EKONOMI ISLAM

EKONOMI ISLAM



PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

            Perkembangan Ekonomi Islam (Islamic Economy) baik sebagai ilmu pengetahuan maupun sebagai sebuah sistem keuangan ekonomi telah mendapat banyak sambutan positif di tingkat global. Berbagai pusat studi maupun program pendidikan ditawarkan di berbagai kampus favorit dunia untuk membentuk sumber daya insani di bidang ekonomi Islam. Demikian juga lembaga keuangan yang beroperasi dengan prinsip keuangan islam (syariah), yang digali dari prinsip-prinsip ekonomi Islam yang selaras dengan ajaran Islam, bermunculan sejak 1970-an yang terus berkembang pesat sampai hari ini.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, juga tidak terlepas dari perkembangan ini. Perkembangan ekonomi keuangan Islam di Indonesia antara lain ditandai dengan munculnya Bank Muamalat Indonesia, sebagai bank yang beroperasi dengan sistem syariah pertama di Indonesia pada 1992. Munculnya perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa perbankan/keuangan yang sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah. Kemunculan bank syariah kemudian diikuti dengan kemunculan lembaga keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, saham syariah maupun berbagai model keuangan lainnya.
            Melihat data perkembangan yang ada sejak awal hingga beberapa tahun terakhir, tampak bahwa perkembangan pesat. Hal ini terjadi karena produk keuangan berbasis islam sudah ditunggu oleh umat Islam yang jumlahnya mencapai 200 juta jiwa. Meningkatnya kesadaran beragama masyarakat dan kekhawatiran pola-pola perbankan yang konvensional termasuk kategori haram, membuat permintaan tersebut meningkat dari waktu ke waktu. Perkembangan ini tidak saja terjadi di tanah air, melainkan juga pada tingkat global. Hal inilah yang membuat banyak lembaga keuanagn dunia yang membuat produk keuangan  islam, meskipun penduduk dimana perbankan tersebut berada, mayoritas bukan muslim. Hal ini terjadi karena potensi pasar mereka dari masyarakat yang beragama Islam cukup signifikan. Berbagai pemain internasional di bidang keuangan semisal HSBC telah memperluas jaringan bisnisnya di bidang ekonomi keuangan islam yang terbukti mampu meningkatkan profit perusahaan.



PEMBAHASAN


2.1 Sejarah Singkat Keuangan Islam
Sejarah keuangan ekonomi umat Islam terdapat dalam lima tahap. Tahap pertama, disebut dengan “era jahiliyah” yang berlangsung hingga tahun 660 M. Tahap kedua, tahun 660-950 disebut dengan era Negara-negara agraris pemberi upeti.Tahap ketiga antara tahun 950 sampai dengan 1550 disebut dengan era Negara-negara perdagangan pemberi upeti karena aktifitas perekonomian pada era tersebut di dominasi oleh aktifitas perdagangan. Tahap keempat , tahun 1550 hingga 1850 adalah tahap formasi kerajaan pinggiran yang dicirikan dengan kecenderungan masyarakat untuk mulai meninggalkan cara-cara hidup dalam koloni kecil dan membentuk koloni yang lebih besar dalam bentuk kerajaan. Dan tahap kelima, antara tahun 1850 hingga sekarang disebut dengan istilah era kapitalisme pinggiran.[1]
Akan tetapi pada sisi lain, kondisi yang demikian membawa beberapa dampak positif bagi kemajuan keilmuan dan perekonomian. Pesatnya perkembangan keilmuan pada masa al-Ghazali yang ditopang oleh besarnya dukungan dari pemerintah, termasuk dukungan materi dalam jumlah yang sangat besar tidak diragukan lagi menunjukkan kondisi obyektif perekonomian umat Islam waktu itu. Sebagaimana diketahui pada masa kekuasaan dinasti Abasiyah, umat Islam mencapai puncak kejayaan dan kemajuan di berbagai bidang. Wilayah kekuasaan juga bertambah semakin luas, membentang dari India Timur berbatasan dengan semenanjung Siberia di bagian utara dan berbatasan dengan teluk Persia di bagian selatan hingga mencapai daratan Eropa di bagain barat. Sebagai konsekuensi sebuah negara yang mempunyai kedaulatan penuh serta wilayah yang cukup luas, pemerintah Islam di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah juga menaruh perhatian yang cukup pada masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia perekonomian masyarakatnya. Tercatat dalam sejarah berbagai sektor perekonomian mendapat penanganan yang cukup serius. Di antaranya adalah sektor pertanian, perdagangan dan industri.
Pada sektor pertanian hasil yang diperoleh saat itu meliputi bermaca-macam komoditas pertanian dan perkebunan khas daerah timur tengah antara lain tebu, gandum,  minyak zaitun dan berbagai buah-buahan. Daerah-daerah yang menjadi sentra penghasil pertanian tersebut antara lain wilayah Irak, Mesir, Andalus, Afganistan dan lain-lain. Keberhasilan di bidang pertanian ini tidak lepas dari peran pemerintah dengan mendirikan dan menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan, di antaranya adalah mendirikan sekolah-sekolah pertanian yang menggalakkan penelitian terhadap bermacam tanaman. Di samping itu pemerintah juga menekankan pentingnya irigasi bagi kebutuhan pertanian
Pada bidang industri juga dicapai perkembangan yang sangat pesat. Hasil industri yang terkenal watu itu adalah industri tekstil yang berpusat di daerah Dimyat, Kufah, Marwa, Naisapur, Khuzistan, Khurasan dan lain-lain. Hasil tekstil ini kebanyakan diekspor ke negara Cina dan India. Dari daerah Iskandariyah, Jazirah ar-Raudah dan Dimyat dihasilkan produk industri berat, yaitu pembuatan kapal. Sebenarnya industri perkapalan ini didirikan sebagai antisipasi dari kemungkinan datangnya serangan dari daerah Bizantium dan tentara Salib, selain untuk keperluan perdagangan antar negara.Untuk keperluan pembuatan kapal ini pemerintah mengimpor kayu dari Eropa. Di samping itu hasil industri lain juga banyak dihasilkan dari berbagai daerah, antara lain idustri pengecoran logam di daerah Fustat, Tinis, Afrika Utara dan lain-lain. Industri kaca dan marmer didirikan di Syam, al-Mania dan Bagdad. Dari Fustat dihasilkan berbagai produk dari barang tambang seperti besi, emas, perak dan tembaga. untuk bahan besi terkadang diimpor dari Eropa, Sicilia dan daerah Afrika utara.
Berdasarkan gambaran di atas dapat diketahui bahwa kondisi perekonomian umat Islam waktu itu sudah sangat maju, khususnya di bidang pertanian dan peridustrian. Kemajuan ekonomi tersebut membawa konsekuensi logis berupa maraknya dunia perdagangan dan munculnya jalur-jalur perdagangan dari dalam keluar negeri dan sebaliknya. Diantara jalur perdagangan tersebut ada yang sudah terbentuk sejak lama ada pula yang muncul baru.
2.2 Karekteristik Keuangan Islam
Keuangan Islam menjamin hubungan yang jelas dalam berbagai mode investasi dan jasa keuangan. Ketika pihak kedua, pemodal dan pengusaha, setuju bahwa kesempatan untuk menciptakan adanya nilai tambah, mereka datang bersama-sama untuk mewujudkan keuntungan dan berbagi. Karena kegiatan ekonomi menurut definisi, penciptaan nilai kegiatan,yaitu berbagai dasar keuangan tidak dapat dipahami tanpa kegiatan ekonomi. Dalam dunia yang tidak pasti di mana kegiatan ini harus dilakukan, mereka kadang-kadang gagal untuk menciptakan nilai tambah. Tidak adanya saling berbagi (asas pemerataan), terkadang bagian dari kekayaan yang ada dapat dihancurkan.
            Keterkaitan antara aktivitas ekonomi  diarahkan menciptakan kekayaan tambahan dan transaksi keuangan seperti murabahahsalamistisna’ (Pesanan prabayar)  dan ijarah (leasing). Kesepakatan ini, yang sedang digunakan oleh bank-bank Islam kontemporer untuk mengamankan keuntungan yang telah ditentukan pada investasi mereka, yang mungkin hanya ketika beberapa aktivitas ekonomi saja yang terlibat. Harus ada beberapa barang dan jasa menjadi objek dari sebuah murabahah, salam, istisna’, dan ijarah. Permintaan barang dan jasa dibiayai melalui kontrak tersebut di atas untuk memastikan bahwa aktivitas keuangan adalah tidak menguasai kegiatan ekonomi sepihak.

2.3 Filosofi Keuangan Islam
            Ekonomi Islam dalam hal ini Keuangan Islam bukan sekedar opsi (pilihan), melainkan sebuah solusi. Tawaran sebagai solusi jelas memiliki landasan dalam Al Quran Surah Al Baqarah (2) : 275. Prinsip keuangan Islam menjawab tiga larangan yaitu menghindari riba, menghindari bunga, dan menghindari spekulasi. Berikut ini dijelaskan beberapa bentuk-bentuk utama keuangan Islam, yang dapat memudahkan mengenal lebih dekat filosofi keuangan Islam.

1.      Murabahah

Akad jual beli dimana harga dan keuntungandi sepakati antara penjual dan pembeli. Jenis danJumlah barang dijelaskan dengan rinci. Barang diserahkan setelah akad jual beli dan pembayaran bisa dilakukan secara mengangsur/cicilan atausekaligus.
2.      Sharf

Jual beli mata uang asing yang saling berbeda,seperti Rupiah dengan Dolar, Dolar dengan Yen;Sharf dilakukan dalam bentuk Bank Notes dantransfer, dengan menggunakan nilai kurs yangberlaku pada saat transaksi.

3.      Muqayyad
Jual beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Jual beli semacam inidilakukan sebagai jalan keluar bagi ekspor yang tidak bisa menghasilkan mata uang asing (valas).
4.      Bai ‘Almuthlaq
Jual beli biasa, yaitu pertukaran barang dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Bai’ al Muthlaq dilakukan untuk pelaksanaan jual beli barang keperluan kantor (fixed assets). Jual beli seperti ini menjiwai semua produk yang didasarkan pada transaksi jual beli.

5.      Nisbah
Porsi bagi hasil antara nasabah dan bank atas transaksi pendanaan dan pembiayaan dengan akad bagi hasil (mudharabah dan musyarakah).

6.      Salam
Jual beli dengan cara pemesanan, di mana pembeli memberikan uang terlebih dahulu terhadap barang yang telah disebutkan spesifikasinya, dan barang dikirim kemudian, Salam biasanya dipergunakan untuk produk-produk pertanian jangka pendek. Dalam hal ini lembaga keuangan bertindak sebagai pembeli produk dan memberikan uangnya lebih dulu sedangkan para nasabah menggunakannya sebagai modal untuk mengelola pertaniannya.

7.      Istishna ‘
Jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang berdasarkan persyaratan serta kriteria tertentu, sedangkan pola pembayaran dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan (dapat dilakukan di depan atau pada saat pengiriman barang).

8.      Ijarah
Akad sewa menyewa barang antara kedua belah pihak, untuk memperoleh manfaat atas barang yang disewa. Akad sewa yang terjadi antara lembaga keuangan (pemilik barang) dengan nasabah (penyewa) dengan cicilan sewa yang sudah termasuk cicilan pokok harga barang sehingga pada akhir masa perjanjian penyewa dapat membeli barang tersebut dengan sisa harga yang kecil atau diberikan saja oleh bank. Karena itu biasanya Ijarah ini dinamai dengan al Ijarah waliqtina’ atau al Ijarah alMuntahia Bittamliik.

9.      Kafalah
Akad jaminan satu pihak kepada pihak lain. Dalam lembaga keuangan biasanya digunakan untuk membuat garansi atas suatu proyek (performance bond), partisipasi dalam tender (tender bond) atau pembayaran lebih dulu (advance payment bond).

10.  Hawalah
Akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak yang lain. Dalam lembaga keuangan hawalah diterapkan pada fasilitas tambahan kepada nasabah pembiayaan yang ingin menjual produknya kepada pembeli dengan jaminan pembayaran dari pembeli tersebut dalam bentuk giro mundur. Ini lazim disebut Post Dated Check. Namun disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syariah.

11.  Rahn
Akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak yang lain, dengan uang sebagai gantinya. Akad ini digunakan sebagai akad tambahan pada pembiayaan yang berisiko dan memerlukan jaminan tambahan. Lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang tersebut.

12.  Qard
Pembiayaan kepada nasabah untuk dana talangan segera dalam jangka waktu yang relatif pendek, dan dana tersebut akan dikembalikan secepatnya sejumlah uang yang digunakannya. Dalam transaksi ini, nasabah hanya mengembalikan pokok.

13.  Mudharabah
Akad yang dilakukan antara pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib) dimana nisbah bagi hasil disepakati di awal, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.

14.  Wadi’ah
Akad yang terjadi antara dua pihak, dimana pihak pertama menitipkan suatu barang kepada pihak kedua. Lembaga keuangan menerapkan akad ini pada rekening giro.

15.  Wakalah
Akad perwakilan antara satu pihak kepada yang lain. Wakalah biasanya diterapkan untuk pembuatan Letter of Credit, atas pembelian barang di luar negeri (L/C Import) atau penerusan permintaan.[2]

2.4 Sistem Keuangan Islam

            Didalam sistem keuangan islam, pasar keuangan dan bank menampilkan fungsi vital dari pembentukan modal, monitoring, pengumpulan informasi, dan menfasilitasi pembagian resiko. Sistem keuangan yang efisien diharapkan dapat menampilkan beberapa fungsi. Pertama, sistem tersebut harus memfasilitasi perantaraan keuangan yang efisien untuk mengurangi biaya informasi dan alokasi. Kedua, sistem tersebut harus didasarkan pada sistem pembayaran tetap/stabil. Ketiga, dengan peningkatan globalisasi dan permintaan atas integrasi keuangan, harus diperhatikan bahwa sistem keuangan menawarkan dana yang cair dan efisien, serta pasar modal. Juga, sistem tersebut harus merupakan pasar yang baik untuk resiko perdagangan, dimana perwakilan ekonomi bisa membeli dan menjual perlindungan terhadap resiko kejadian dan juga resio keuangan.
            Penelitian pada perantaraan keuangan dan sistem keungan dalam kurun waktu dua dekade ini menambah pemahaman kita tentang pentingnya sistem keuangan dan perannya yang penting dalam perkembangan ekonomi keuangan islam.[3]

2.5 Definisi Uang
            Berdasarkan sumber yang terpercaya (kuat)  al-Ghazali mendefinisikan uang yaitu:
  1. Barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana mendapatkan barang lain. Dengan kata lain uang adalah barang yang disepakati fungsinya sebagai media pertukaran (medium of exchange).
  2. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik).
  3. Nilai benda yang berfungsi sebagai uang ditentukan terkait dengan fungsinya sebagai alat tukar. Dengan kata lain yang lebih berperan dalam benda yang berfungsi sebagai uang adalah nilai tukar dan nilai nominalnya.[4]
            Karena itu ia mengibaratkan uang sebagai “cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna.” al-Ghazali tidak hanya menekankan pada aspek fungsi. Definisi yang demikian lebih komprehensif dibanding dengan batasan-batasan yang dikemukakan oleh kebanyakan ekonom konvensional. Sebab kebanyakan dari mereka mendefinisikan uang sebatas pada fungsi-fungsi yang melekat padanya yaitu means of exchange, measure of value, medium of deferred value dan store of value (pertukaran, mengukur nilai, perantara dengan nilai yang di tunda, dan  menyimpan nilai).
Sedangkan Rolling Thomas mendefinisikan uang sebagai berikut:
something that is readily and general accepted by the public in payment for the sale of goods, service and other valuable assets and for payment of debt.” yang beartikan uang ialah apapun yang siap dan umum yang diterima oleh publik pada pembayaran untuk penjualan dari barang, jasa dan asset berharga lainnya dan untuk pembayaran hutang.[5]
Mata uang yang berlaku pada masa al-Ghazali terbuat dari emas dan perak, yaitu dinar dan dirham, yang merupakan bahan terbaik untuk membuat mata uang. Dalam sejarah ekonomi modern, dipilihnya emas dan perak sebagai bahan mata uang memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan bahan-bahan yang lain. Sebab kedua bahan tersebut dinilai memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai uang. Syarat-syarat tersebut adalah:
  1. Generally acceptability (diterima secara luas). Maksudnya adalah suatu benda dapat djadikan uang apabila ia diterima atau disukai oleh masyarakat umum dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Suatu kenyataan bahwa sekarang ini baik uang logam maupun uang kertas yang kadang-kadang memiliki nilai nominal jauh melebihi nilai intrinsiknya dapat berlaku karena diterima oleh masyarakat. Alasan penerimaan ini bukan karena melihat bentuk maupun bahannya, melainkan karena uang memiliki purchasing power (daya beli). Artinya dengan uang dapat dibeli barang atau jasa apapun yang diinginkan oleh pemilik uang tersebut.[6]
  2. Stability of value (stabilitas nilai atau harga). Uang harus memiliki stabilitas nilai yang tinggi, yaitu suatu kestabilan atau ketetapan nilai atau harga walaupun bukan sesuatu hal yang mustahil masih mempunyai kemungkinan untuk berfluktuasi, tetapi harus diusahakan agar kemungkinan tersebut sekecil mungkin. Sebab jika nilai atau harga uang selalu berubah-ubah akan menimbulkan kesulitan sehubungan dengan fungsinya sebagai media pertukaran, pengukur nilai maupun fungsi baku moneter lainnya. Dengan kata lain nilai uang adalah netral, tidak terpengaruh oleh bahan bakunya.
  3. Portability (bentuknya simpel), hal ini ditujukan agar uang dapat mudah dibawa-bawa, meskipun dalam jumlah yang besar. Dalam perkembangan perekonomian modern, uang logam dianggap belum memenuhi persyaratan ini. Karena itu kemudian muncul uang kertas yang dianggap lebih praktis untuk dibawa dalam jumlah besar sekalipun. Bahkan kemudian muncul pula uang giral seperti giro, cek, kartu kredit dan lain-lain yang lebih efisien lagi. Akan tetapi penggunaan uang kertas ternyata mengabaikan syarat-syarat yang lain sehingga mudah sekali mengalami fluktuasi nilai.
  4. Durability (tahan lama). Artinya adalah uang secara fisik harus tahan lama dan tidak mudah untuk tujuan pemakaian jangka panjang. Sebab pada dasarnya baik uang logam maupun uang kertas dibuat untuk dipergunakan dalam transaksi berkali-kali dan jangka panjang. Sehingga harus tahan lama.
  5. Difficult to imitate (sukar dipalsu). Syarat ini dimaksudkan untuk menjaga kestabilan nilai uang. Sebab jika uang mudah ditiru atau dipalsu akan menimbulkan kecenderungan atau kemungkinan munculnya dua jenis uang yang berbeda dengan nominal yang sama, yaitu good money (uang baik) atau uang asli dan bad money (uang buruk) atau uang palsu. Sehingga berlakulah Hukum Gresham.[7]
  6. Divisible to small units (mudah dibagi menjadi bagian-bagian kecil). Maksudnya uang harus mudah untuk ditentukan perbandingannya dalam satuan-satuan kecil. Tujuannya untuk mempermudah proses transaksi. Ini pula yang menjadi kelebihan relatif uang kartal dibanding dengan sistem pertukaran barang secara langsung. Sebab meskipun dalam transaksi yang paling kecilpun dapat dipergunakan.
  7. Suplainya elastis. Maksudnya uang harus bisa mencukupi kebutuhan perekonomian agar dapat mengimbangi kegiatan usaha dan memperlancar transaksi.
  8. Continuity, yaitu dalam pemberlakuannya tidak terlalu sering mengalami pergantian. Sebab hal tersebut akan menimbulkan keraguan dalam masyarakat yang menggunakannya.
  9. Mudah disimpan. Syarat ini erat kaitannya dengan motif precauntionary (berjaga-jaga), untuk penundaan kebutuhan dimasa yang akan datang dan kebutuhan yang sifatnya tidak terduga dan juga terkait dengan keamanan uang itu sendiri.[8]
2.6 Fungsi Uang
Paparan di atas telah menjelaskan bahwa beberapa fungsi uang antara lain adalah sebagai alat tukar, alat pengukur nilai barang, alat penyimpan kekayaan dan sebagai alat pembayaran tunda. Dalam hal ini  menjelaskan beberapa fungsi yang dimiliki uang. Fungsi-fungsi tersebut adalah :[9]
  1. Qiwam ad-dunya
  2. Alat at-tabadul
  3. Sarana pencapaian tujuan dan untuk mendapatkan barang-barang lain.
Fungsi uang sebagai qiwam ad-dunya, artinya bahwa uang merupakan alat yang dapat digunakan untuk menilai barang sekaligus membandingkannya dengan barang yang lain. Al-Ghazali mengibaratkan uang dengan sebuah cermin yang tidak memiliki warna sendiri tetapi mampu mencerminkan warna-warna yang lain. Sebenarnya tidak memiliki nilai sendiri tetapi dapat menunjukkan perbandingan nilai suatu barang dengan barang yang lain. Fungsi ini juga menghapus kesulitan-kesulitan yang timbul dalam barter, yaitu dalam hal penentuan perbandingan nilai barang yang akan ditukar.[10]
             Sedangkan fungsi uang sebagai alat at-tabadul atau al-mu’awidah, adalah uang merupakan sarana pertukaran barang dalam suatu transaksi atau sering disebut dengan medium of exchange. Fungsi ini terkait dengan fungsi yang pertama. Dengan diketahuinya perbandingan nilai atau harga antara barang-barang yang akan dipertukarkan maka barang-barang tersebut dapat diwakili oleh uang dalam penyerahannya
            Uang juga berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang-barang lain dan tujuan-tujuan tertentu. Sebenarnya fungsi ini adalah penjabaraan dari fungsi uang sebagai sarana tukar-menukar. Karena itu dinyatakan “uang membeli barang dan barang tidak membeli uang.”[11]


PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Ekonomi islam mengajari bahwa sagala perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya  dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian, kesejahteraan dunia dan akhirat).Oleh karena itu timbullah keuangan islam dimana sebagai pedoman yang bersumber dari al-quran dan hadist untuk mengatur atau sebagai acuan dalam melakukan kegiatan muamalah secara sah dan halal dalam ajaran islam. Maka dibuatlah beberapa bentuk atau produk ekonomi islam sebagaimana yang telah dijelaskan pada karya tulis ini dimana dengan produk islam tersebut umat islam terhindar dari riba, haram,dan merugikan orang lain baik dalam kegiatan dunia maupun akhirat sesuai dengan prinsip ekonomi islam.






[1] Peter Gran, “Politik Ekonomi sebagai Suatu Paradigma untuk Telaah Sejarah Muslim”, dalam Abu Baker A. Bagadeer (ed.), Islamisai 1992, hlm. 134.

[2] www.bi.go.id
[3] www.verypdf.com
[4] Al-Ghazali, Ihya, Vol. IV, hlm. 88.
[5] Kaslan A. Tahir dalam, Pengantar Ekonomi Tentang Uang, Kredi, Bank (Jakarta: Gunung Agung, 1969), hlm. 29.
[6] Sjafruddin Prawira Negara, Ekonomi dan Keuangan Makna Ekonomi Islam, cet. 1 ( Jakarta: Haji Masagung, 1988), hlm. 138.
[7] Hukum Gresham yang  intinya berbunyi “uang yang  jelek akan mengusir keluar uang yang baik” Penjelasan secara luas tentang hukum Gresham (Gresham Law) dapat dilihat dalam Markoem Soemitro, Fasal-fasal Ekonomi II; Masalah Keuangan, Kredit dan Bank, cet. 3 (Jakarta: Pradnjaparamita, 1961), hlm. 26.
[8] Lihat Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 5-8.
[9] Al-Ghazali, Ihya,vol. IV, hlm. 88- 91.
[10] Ibid.hlm 10
[11] Ibid.hlm 10


Kami berharap Kritik, Saran, dan Pendapat nya yang membangun demi perbaikan penulisan kedepannya.
Semoga Bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar